Inolah Pengakuan Seorang Perempuan Pelacur
“Anda pasti berpikir saya menjual tubuh saya atau merugikan diri saya sendiri, tapi yang sebenarnya saya telah membeli kejantanan para pria” (Jenny Cortez, Film Pengakuan Seorang Pelacur, MM Creations 2010)
Sama seperti Jenny, dulu saya juga berpikir kalau pelacur adalah pekerjaan yang paling mulia. Saya membantu para pria melepaskan hasrat binatang mereka, mencegah mereka menjadi serigala lapar yang memperkosa setiap betina yang ditemui. Membuat hidup mereka lebih produktif karena melepaskan ketegangan berarti melancarkan peredaran darah dan supply oksigen ke otak. Tapi itu dulu, sebelum saya bertemu pria itu. Pria misterius yang telah mengubahkan hidup saya selamanya.
Siapa nama saya tidaklah penting. Toh sewaktu masih menjadi pelacur nama saya terus berganti setiap malam. Pria-pria hidung belang itu bahkan tak pernah peduli siapa nama saya. Perkenalan nama hanyalah ritual basa basi, karena segera setelah mereka dapatkan apa yang mereka mau, mereka akan langsung melupakan nama saya. Karenanya tidak peduli saya menggunakan nama Cindy, Tania, Susan, Maria, Elena, asal bukan Bambang atau Widodo, dengan rakusnya para lelaki itu akan segera melahap tubuh muda saya. Jadi sekarang terserah kalian saja mau panggil saya siapa. Kalau mau, kalian boleh panggil saya Maria. Sama halnya dengan nama Olga di Rusia, nama Maria sangat umum di kampung saya. Saking banyaknya perempuan bernama Maria, jika kalian secara acak lempar batu ke kerumunan perempuan, batu itu pasti akan mengenai Maria. Sekali lagi, siapa nama saya tidaklah penting, apa yang akan saya ceritakan itulah yang lebih penting.
Saya bertemu pria itu cuma sekali. Sungguh, bukannya saya tidak mau lagi menemui dia. Saya sudah berusaha mencarinya kemana-mana, namun saya tidak pernah bertemu dengannya lagi. Suatu kali saya pernah mendengarnya mengadakan KKR di bukit Zaitun, sengaja saya datang ke sana dari kampung saya yang berjarak 26 kilometer dengan berjalan kaki bermaksud menemui pria yang telah menyelamatkan hidup saya itu. Namun saya mesti menelan kekecewaan karena saya cuma bisa melihatnya dari jarak yang sangat jauh. Kerumunan ribuan orang menghalangi saya mendekatinya. Saya bahkan tak bisa mendengarnya berkhotbah, karena suara ribuan orang di sekitar saya sudah seperti dengung lebah di telinga saya.
Pria misterius itu telah menyelamatkan hidup saya. Dia menghalangi orang-orang munafik itu melempari tubuh saya dengan batu. Ya, waktu itu memang hari sial buat saya. Saya tertangkap basah sedang bekerja di siang hari, di rumah seorang Yahudi kaya yang mengundang saya ke rumahnya karena istrinya sedang pergi keluar kota melayat ayah mertuanya yang meninggal dunia.
Sial memang, baru setengah jam saya berada di rumah pria itu, kami bahkan belum melakukan apa-apa, karena ternyata pria pegawai pajak yang kaya itu sedikit kesulitan membangunkan kejantanannya, tiba-tiba saja istri pria itu kembali ke rumah karena ada barangnya yang ketinggalan. Waktu itu lelaki yang mengundang saya itu sedang bersiap di kamar mandi, sementara saya dengan hanya ditutupi selimut tengah tiduran di ranjang kamarnya, siap memulai pekerjaan mulia saya.
Spontan istri pria itu teriak-teriak seperti orang kesurupan. Dia menampar wajah saya, menjambak rambut saya, dan menyeret saya keluar rumahnya sambil terus teriak histeris memanggil orang-orang untuk datang. Hei, kenapa cuma saya yang dijambak? Saya cuma datang memenuhi undangan suaminya. Mestinya dia juga menampar suaminya. Saya tamu di rumah ini.
Entah bagaimana, tiba-tiba saya sudah dikerumuni banyak sekali orang. Mereka mencaci maki saya, menendang, menampar, dan meludahi saya. Saya sangat ketakutan, saya berpikir hari ini saya pasti mati. Saya ketakutan setengah mati, namun tiba-tiba seorang tua berteriak lantang menyuruh semuanya diam. “Tenang, mari kita bawa pelacur ini ke lelaki dari Nazareth itu. Kita lihat apa yang akan dilakukannya pada perempuan laknat ini.” Hei, saya ingat orang tua ini. Ya saya ingat, dua minggu yang lalu saya bertemu dengannya di pasar. Ya tidak salah lagi, dia salah satu klien saya! Demi dewa matahari, saya ingat lelaki berumur 65 tahun ini pernah meniduri saya. Saya tak pernah bisa melupakan tahi lalat di bawah matanya itu. Dasar munafik!
Keringat dingin membasahi seluruh tubuh saya waktu kerumunan massa itu mendorong-dorong saya berjalan menuju tengah kota. Saya tidak tau siapa yang mereka maksud dengan lelaki dari Nazareth. Yang saya ingat tiba-tiba saya sudah didorong jatuh ke kaki seorang pria muda yang memiliki tatapan sangat tajam seakan menusuk jantung. Saya tidak berani menatap mata pria itu lama-lama, entah mengapa tiba-tiba saya merasa sangat malu dan kotor. Saya bingung karena selama ini saya tidak pernah kalah beradu tatap dengan pria manapun. Entahlah, mungkin karena waktu itu saya berpikir saya akan segera mati.
“Hei Yesus, kami tau kau orang bijak. Kami menangkap basah pelacur ini berjinah. Menurut hukum, dia harus dilempar sampai mati!” Si lelaki tua berteriak lantang.
Oo ternyata namanya Yesus. Saya menundukkan kepala, tak berani menengoknya. Dari ekor mata saya, saya melihatnya menunduk ke tanah. “Mati saya, dia akan segera mengambil batu dan melempar saya. Saya mati hari ini” Sekonyong-konyong saya bergidik ngeri membayangkan dia melempar tubuh saya. Saya tau, begitu satu orang mulai melempar, maka semua orang akan segera melempari saya. Demi semua lelaki yang pernah meniduri saya, saya tau saya pasti mati hari ini.
Saya memejamkan mata, jika harus mati hari ini, matilah sudah. Sedetik, dua detik, tiga detik, sampai sepuluh detik kemudian tidak ada yang melempar saya. Perlahan saya membuka mata dan dengan ekor mata saya melihat lelaki dari Nazareth itu tengah berjongkok di tanah. Dia diam. Sementara orang-orang mulai kelihatan tidak sabar dan memaksanya berbuat sesuatu.
“Benar, kita harus melempar wanita ini dengan batu sampai mati. Silahkan yang tidak mempunyai dosa melempar terlebih dahulu”, lelaki itu mulai berbicara. “Ayo silahkan dimulai. Yang tidak berdosa ayo lempar perempuan ini dengan batu. Pilih batu yang paling besar dan hantam kepala perempuan ini!”
Saya memejamkan mata lagi. Sudah, inilah saatnya. Tiba-tiba saya teringat kejadian-kejadian yang pernah terjadi dalam hidup saya. Saya teringat ayah dan ibu saya yang mati muda karena kapal yang mereka tumpangi tenggelam di laut. Saya teringat pertama kali saya jatuh cinta pada seorang lelaki yang akhirnya merenggut kegadisan saya kemudian meninggalkan saya dengan wanita lain. Saya teringat bagaimana saya harus membesarkan dan merawat dua orang adik saya yang masih kecil setelah kematian kedua orang tua saya, karena sebagai anak tertua sayalah yang bertanggung jawab atas hidup mereka. Peristiwa-peristiwa itu berkelebatan di dalam pikiran saya. Oh, inilah rasanya mau mati. Saya takut.
Tapi tidak ada yang terjadi. Perlahan saya memberanikan diri membuka mata. Saya mengangkat kepala dan memandang sekeliling. Pria tua munafik itu sudah tidak terlihat. Orang-orang yang tadinya ramai berkerumun itupun sudah tidak ada. Hei, kemana mereka? Mereka semua pergi. Saya tidak ingat lelaki dari Nazareth itu mengusir mereka. Saya terpana. Sungguh luar biasa pria ini, dengan satu perkataan dia bisa meredam amarah begitu banyak orang. Benarlah kata orang-orang jika dia ini seorang tukang sihir.
Saya tak berani bergerak. Bekas pukulan dan tendangan orang-orang itu masih terasa ngilu di tubuh saya. Lagipula saya takut pada pria dengan tatapan tajam itu. Jangan-jangan dia akan menghantam kepala saya pakai batu. “Kamu boleh pergi sekarang. Cari pekerjaan lain.” Pria itu berbisik di dekat kuping saya. Singkat, namun terasa kuat di dalam hati saya. Entah mengapa saya merasa bahwa pria ini sangat berkuasa, padahal beda umur kami tidaklah terlalu jauh. Dari perawakannya saya menilai dia berusia 30, sementara waktu itu saya berusia 24 tahun. Luar biasa pria ini, dia berusia 30 tapi mempunyai kuasa layaknya Firaun yang berusia 1000 tahun.
Saya bahkan tak sempat mengucapkan terimakasih pada pria itu. Saya berdiri, saya tutupi belahan dada saya yang terbuka karena baju saya robek sewaktu diseret-seret orang banyak tadi. Saya tidak jadi mati hari ini. Seperti katamu, saya akan mencari pekerjaan lain.
0 Response to " Inolah Pengakuan Seorang Perempuan Pelacur "